Menyambut datangnya pesta panen raya, warga Suku Bugis di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, punya tradisi keren namanya “Mappangolo Datu Ase”.
Nah, ritual ini sejenis persembahan buat dewa padi, yang dianggap sebagai penguasa alam. Ada juga nyanyian khusus yang dipanjatkan buat Datu Ase dan Indo Ase sebagai pembawa berkah. Mereka berharap supaya warga di kampung selamat dan hasil panennya melimpah. Ini tradisi turun-temurun, lho, dan dilakukan bersamaan dengan serangkaian ritual lain kayak maccera ase, mappadendang, dan persembahan sesajen yang berisi telur, nasi ketan, dan kelapa muda buat Datu Ase dan Indo Ase.
Ritualnya dimulai dengan empat wanita berpakaian adat Bugis yang bawa sesajen buat Datu Ase, Indo Ase, dan dewa penyelamat, To Manurung. Sebelum menyerahkan sesajen, seorang Sandro Ase atau dukun padi bacain doa buat keselamatan warga biar terhindar dari bencana dan hasil panennya bagus.
Setelah itu, sesajen itu diarak keliling tujuh kali di tempat permainan padendang. Suku Bugis percaya kalau padendang ini juga jadi persembahan dan hiburan buat Datu Ase, Indo Ase, dan To Manurung.
Puncaknya, setelah keliling padendang, dukun lagi-lagi doain keselamatan warga dan berharap hasil panen tahun ini lebih melimpah. Ritualnya diakhiri dengan nyerahkan sesajen dan bakar kemenyan serta lilin di kamar khusus Datu Ase, Indo Ase, dan To Manurung yang cuma dihuni buat ritual ini.
Di samping itu, ada asisten dukun yang nyanyi puji-pujian biar persembahan dan doa dari warga diterima sama Sang Penguasa Alam. Seru banget, kan?
Padi Raksasa Titisan Dewa Panen
Ada cerita menarik tentang padi raksasa setinggi dua meter lebih yang dianggap sebagai titisan Dewa Panen. Padi ini punya tujuh ruas batang panjang dan disimpan di rumah Muhammad Saleh, seorang Sandro Ase atau dukun padi di Desa Tumpiling, Kecamatan Wonomulyo, Polewali Mandar.
Padi ini dianggap sebagai Datu Ase dan Indo Ase, dewi padi dan induk padi. Katanya, waktu dipanen tahun 1950-an di lahan milik Raja Tumpiling, padi ini bisa sampe setinggi atap rumah sang dukun. Tapi ya, seiring berjalannya waktu, padi ini agak kering.
Biar padi ini tetap kuat, Sandro Ase ngebungkus batangnya pake kain merah. Nah, batang padi yang kelihatan lebih tinggi ini dianggap warga sebagai Datu Ase atau Ratu Padi. Sementara padi lainnya jadi Indo Ase atau induk padi.
Menariknya, dalam mitologi Jawa, Indo Ase sama dengan Dewa Sri. Terus, ada satu tempat kecil yang dibalut kain batik di rumah sang dukun, dipercaya warga sebagai rumah To Manurung, dewa yang jaga keselamatan warga.
Muhammad Saleh, sang dukun padi, ngaku rawat padi raksasa ini dengan sepenuh hati, bahkan kayak rawat anak sendiri. Dia bilang, kalau Datu dan Indo Ase diabaikan, bisa berakibat buruk buat warga dan panen bisa kena penyakit. "Mappangolo Datu Ase itu dilakuin rutin buat nyambut panen. Ritual ini kayak doa dan hiburan buat Datu dan Indo Ase, biar mereka berkenan kasih berkah panen yang melimpah," jelas Saleh. Dia bilang juga, Datu Ase bisa cabut kapan aja dari kampung kalau dia nggak enak atau merasa nggak diperhatiin dengan baik oleh warga atau Sandro Ase. Seru, ya, tradisinya!